PASURUAN. CBN-INDONESIA
Orangtua/Wali murid merasa sangat bahagia saat mengetahui kalau anaknya bisa di terima dan masuk ke Sekolah SMA bergengsi, yaitu SMA Negeri 1 Purwosari.
Dibalik kebahagian itu semua, ternyata orang tua siswa keluhkan mahalnya Shodaqoh dan Infaq di sekolah putra-putrinya yang berlokasi di Kelurahan Purwosari, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur.
Tak tanggung-tanggung, jumlah yang didapat sekolah dari Shodaqoh dan Infaq mencapai jutaan rupiah pertahun.
Dari pantauan media ini, melalui Komite Sekolah SMA Negeri 1 Purwosari diduga memungut atau meminta dua jenis sumbangan, pertahun dan perbulan ke orang tua wali murid melalui komite sekolah.
Sumbangan tersebut yakni:
- Sumbangan Peningkatan Mutu Kelas, Tahun Pelajaran 2021/2022 Rp 280.000 (Dua ratus delapan puluh ribu rupiah) yang harus di bayarkan per satu tahun sekali.
- Sumbangan sukarela perbulan, tahun pelajaran 2021/2022 Rp 80.000 (Delapan puluh ribu rupiah) yang juga harus di bayarkan setiap bulannya.
Klarifikasi dari pihak SMA Negeri 1 Purwosari dalam menanggapi beberapa pemberitaan dan surat yang pernah di layangkan Redaksi media CBN-INDONESIA. Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Purwosari, Fety Susilolawatie, dan Ketua Komite, Ahmad Yusuf menerangkan di suratnya berbunyi:
“Maka dengan ini kami akan menyampaikan Klarifikasi secara tertulis, Pengurus komite dan dengan dukungan koordinator Komite Kelas SMAN 1 Purwosari telah melaksanakan Tupoksi sesuai dengan regulasi yang ada.
A. Peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2008 (Pasal 55)
B. Permendikbud No 75 Tahun 2016 ( Pasal 10 ayat 1 dan 2 )
C. Peraturan Gubernur Jatim No 8 Tahun 2023 ( pasal 4 ayat 1).
Demikian Klasifikasi secara tertulis dari kami semoga pemahaman yang sama terkait sumbangan partisipasi masyarakat dan semoga SMAN 1 Purwosari dapat lebih fokus dalam mendidik anak-anak bangsa, agar mereka dapat menjadi anak-anak yang sukses, berakhlak mulia dan berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya. 30 November 2023.
Namun kegiatan tersebut di atas. diduga ada beberapa hal yang menyimpang sifatnya, mengikat dan akhirnya diduga bertentangan dengan Peraturan Permendikbud No 75 tahun 2016 seperti apa yang di maksud dalam (Pasal 12 Huruf B) seperti apa yang di sampaikan sepengetahuannya di lapangan oleh wali murid NR.
“Kejadian pada waktu tahun kemarin ada ujian, mereka-mereka para siswa dan siswi yang belum bisa bayar terkait uang sumbangan sukarela Infaq dan Shodaqoh, yang pernah saya protes tahun lalu. Waktu itu wali murid kebingungan,” katanya.
Masih kata NR, bahwasanya mereka yang belum bisa bayar, para siswa dan siswi itu, setiap pagi harus mengantri, untuk mengambil nomor ujian ke ruangan TU (Tata Usaha ) dan dari sekian murid ada yang tidak bisa bayar.
Dari kejadian itu, bukankah hal itu adalah sebagai bentuk diskriminasi lembaga ke siswa dan tanpa sadar, kejadian itu bisa di sebut sekolah membully siswa dan siswi sendiri. karena ada murid yang tidak bisa bayar,” ungkapnya.
Yang saya takutkan, jelas NR, ini bisa menjadi bahan bully’ kerena ketidak mampuan orang tua wali murid dari segi ekonomi untuk bayar Infaq dan shodaqoh anaknya di sekolah.
NR menambahkan, sebelumnya siswa lain tidak tau kalau ada temannya tidak bisa bayar, akhirnya mereka jadi tahu, kalau ada temannya tidak bisa bayar infaq dan shodaqoh harus mengambil kartu ujian ke TU.
Padahal kewajiban yang membayar itu adalah orang tua siswa dan siswi, bukan kewajiban siswa-siswi, akan tetapi yang terhukum di lapangan adalah siswa siswi.
“Saya sebagai wali murid sangat menyayangkan dengan adanya kondisi tersebut, maka dari itu harapan saya, urusan bayar sekolah itu urusan wali murid. Jangan disamakan dengan urusan siswa-siswi, biarkan mereka belajar, kalau toh memang di haruskan membayar kejar saja orang tua wali murid, jangan siswa-siswinya,” harapnya.
Kami wali murid bayar per bulan Rp 80.000 itu untuk infaq dan Shodaqoh. terus ada lagi uang Rp 280.000 persis kalau kita total-total antara 80 ribu plus 280 per tahun loh mas, nilai rata-rata bisa sampai ratusan juta kalau di kumpulkan semua murid pertahun, itu terjadi di SMA Negeri 1 Purwosari,” pungkasnya.
Lanjut NR, anehnya, sekolah dalam mengambil pungutan yang menurut saya di luar jangkauan, di luar kemampuan orang tua wali murid.
Tambah NR, waktu itu anak saya kelas 1 SMA itu kondisinya Covid-19 tidak boleh mengumpulkan banyak orang, mereka mengadakan Telkomfren pada wali murid, pertanyaan, apakah Telkomfren bisa menjangkau semuanya karena orang tua wali murid ratusan.
“Saya tidak pernah merasa masuk di dalam rapat Telkomfren yang di lakukan oleh sekolah terhadap wali murid. Maka artinya saya menduga, menurut saya hal itu diputuskan secara sepihak oleh oknum-oknum tertentu,” tutupnya.
Sekolah gratis hanya isapan jempol belaka, seperti halnya di SMA Negeri 1 Purwosari. Ada apa ya..? Apa ada..?
Penulis : Yes
Penerbit : Redaksi